Skip to main content

Emosi Anak Penting untuk Dilatih

Tadi pagi di group IIP Bunsay 2 Jakarta 1, salah satu fasilitator memberikan cemilan pagi tentang Mendidik Kemandirian Emosi. Ah, disini saya jadi diingatkan lagi bahwa tidak hanya berupa "fisik" saja yang perlu dilatih kemandiriannya, tapi emosi pun perlu dilatih. Bukan hanya untuk anak-anak saja tapi juga untuk orang dewasa.

Tidak terasa saya sudah menulis 8 postingan cerita tentang "melatih kemandirian anak". Memang semuanya belum ditahap sukses besar dan berhasil, lalu ya sudah. Tapi semua masih dalam tahapan proses. Proses menuju kemandirian yang menjadi bekal untuk anak saya nanti. Terutama mandiri untuk makan sendiri dan toilet training. Kali ini saya ingin bercerita sedikit mengenai kemandirian emosi.

Sesungguhnya punya anak itu bukan hanya anaknya yang belajar, tapi orang tuanya pun juga belajar banyak setiap hari. Disaat kita tidak ingin anak terlalu emosi, maka dari orangtua nya pun harus memberikan contoh bagaimana bisa mengatur emosinya dengan baik.

Saya pribadi, ingin sekali anak saya nantinya siap mental lahir batin untuk menjalani kehidupan yang penuh misteri dan pembelajaran. Saya ingin anak saya bisa menyelesaikan permasalahannya dengan baik dan benar. Saya ingin anak saya bisa memutuskan sesuatu yang berpengaruh dalam hidupnya dengan baik. Maka, saya paham bahwa hal itu harus mulai dilatih sejak dini

Ada cerita cukup menarik, saat mengantar anak imunisasi. Di ruang tunggu dokter anak ada beberapa permainan anak. Anak saya happy sekali tiap sampai di ruang tunggu ini karena sekarang sudah bisa naik tangga sendiri dan turun prosotan sendiri di situ. Jadi kalo ke RS bawaannya ya happy karena dia bisa main. Eh, tiba2 ada anak yang badannya lebih besar, cowok, lari dan langsung dorong anak saya. Otomatis dong ya jatuh dan nangis kenceng banget sampe terisak-isak (karena memang dorongannya keras dan bikin kaget bgt). Ayahnya yang lagi jagain shock, raut muka berubah, gendong anak saya langsung menuju ke saya.

Saya ngapain? Posisi sedang duduk. Melihat semua rentetan kejadian (alhamdulillah ya kebetulan gak pegang hape 😅😅) dan saya cuma senyum aja. Kenapa? Karena saya paham karakter anak itu beda2. Mau didikannya sama, tapi kalo pribadinya beda ya jadinya/hasilnya bakal beda. Kenapa saya tetep kalem? (Walaupun degdegan sama kondisi anak), ya karena orang tua si anak yang badannya lebih besar dan mendorong anak saya tadi langsung merespon. Memberi tahu ke anaknya kalo itu gak baik, dan ngajak anaknya tadi langsung menghampiri saya yang lagi mangku+peluk anak saya untuk minta maaf.

Mengapa saya lebih banyak diamnya? Biasanya kalo lihat anak jatuh atau didorong orang, seorang ibu pasti langsung panik dan menghampiri anaknya. Tapi saya bukan tipe seperti itu. Dilihat dulu kejadiannya, parah atau tidak, perlu langsung ditolong atau ditunggu dulu reaksi dari anak. Saya ingin anak saya bisa mengatur ritme emosinya sendiri. Apalagi untuk hal sepele, saya ingin dia sanggup menyelesaikannya sendiri tanpa dibantu orang tuanya.

Hasil dari kejadian ini? Kami sebagai orangtua jadi bisa belajar banyak, ngendaliin emosi diri sendiri dan emosi anak sendiri. Walaupun jadinya selama di RS ya drama banget anak saya. Gimana nggak drama, belum juga isakan tangisnya berhenti, namanya udah dipanggil dokter. Means, kudu siao di suntik. Hahahahahhaha.... ya sudah. Dinikmati ajalah ya mumpung masih bisa diuyel2 dan menggemaskan aktifnya sampe gigit jari  😂😂

Arsyad termasuk anak yang cepat belajar dari hal-hal yang selalu dia lihat dan dilakukan orang sekitarnya setiap hari. Contoh seperti menggunakan sepatu dan kaos kaki. 2 hari ini alhamdulillah dia sukses memakai kaos kaki dan sepatu sendiri tanpa bantuan dari kami, orangtuanya. Oh, ini butuh proses. Proses panjang dari yang awalnya kami mengajarinya melepas sepatu sendiri, kami meminta arsyad ambil sepatunya sendiri (semenjak dia mulai lancar jalan dan tahu perbedaan mana sandal mana sepatu), yang paling bikin gregeten ya saat dia mencoba pakai kaos kaki sendiri. Saat itulah kemandirian emosinya pun dilatih. Awal-awal saat tidak bisa melakukannya, yang ada rengekan dan minta tolong orangtuanya untuk memakaikan. Tapi kami menolak, hahahahah. Kami lebih banyak memberi semangat, dorongan, dan kalimat magic "ayo, Arsyad bisa kok.", "sabar.. sabar.. ayok dicoba lagi. Gakpapa. Kan belajar". Kalimat-kalimat itulah yang menjadi senjata kami supaya anak tetap berusaha. Akhirnya sekarang pun dia bisa memakai kaos kaki dan sepatu sendiri. yayy...

Ya, kita sebagai orang tua memang hendaknya banyak belajar lagi. Belajar banyak hal. Memahami porsi yang pas sebagai orang tua. Terlalu berlebihan kah atau malah justru kurang dalam membersamai anak-anak kita. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi dan orang tua yang lebih baik lagi setiap waktu :)

#Level2
#BunsayIIP
#MelatihKemandirian
#Tantangan10hari


Comments

Popular posts from this blog

Fitrah Seksualitas : Latih Kebiasaan Sehari-hari

Penyimpangan bisa saja terjadi karena perilaku sehari-hari yang tanpa kita sadari dapat memicu perilaku yang tidak semestinya. Mungkin bagi kita hal itu tidak penting, tapi bisa jadi, untuk anak kita atau orang lain yang fitrah seksualitasnya belum berakhir dengan sempurna malah menjadi 'tanda tanya' besar untuknya kelak.  Seperti salah satu kutipan dalam presentasi "Parenting is not about the kids, It's about the parents". Anak adalah peniru ulung, maka sebagai orang tua sudah sepatutnya memberikan contoh yang terbaik untuk anaknya. Terutama dalam kebiasaan sehari-hari yang nantinya akan menjadi kebiasaannya kelak suatu hari. Saya mulai membiasakan sedari dini pada anak, saat mandi ya harus di kamar mandi, pintu tertutup. Kalo terbuka biasanya saya langsung komentar, "eh, maluuuu... gak pakai baju. Ayo ditutup pintunya."  Paling bikin deg-deg an saat ini adalah karena anak masih super nempel sama saya, padahal ini sudah 1bulan lebih di ruma...

Aliran Rasa - Fitrah Seksualitas

Alhamdulillah, semakin hari anak saya semakin paham akan gendernya. Terlebih lagi dalam pelaksanaan ibadah. Ramadhan kali ini saya sering mengajaknya buka bersama di masjid dekat rumah eyangnya di Jogja. Semakin dia paham kalo sholat laki-laki di shaf laki-laki. Perempuan dengan perempuan. Alhamdulillah dia sendiri yang meminta saat sholat akan dimulai, dia mencari eyang papinya dan berkata, "Arsyad sholat sama eyang papi. Ibu sholat sama eyang mami." Masya Allah... Kami orang tua hanya bisa berikhtiar. Segala kemudahan ini datangnya dari Allah semata.

Review Presentasi : Mengarahkan Fitrah Seksual Anak Pra Aqil Baligh

Presentasi ke-7 Kelompok 2 Tema / Judul Presentasi : Mengarahkan Fitrah Seksual Anak Pra Aqil Baligh Fitrah seksualitas adalah pemahaman bahwa setiap anak dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang dalam pengertiannya berkembang menjadi peran hidup sesuai jenis kelaminnya. Masalah seksual membutuhkan pengarahan, bukan pembentukan atau pembangunan. Baligh, kondisi tercapainya kedewasaan biologis dengan kematangan alat reproduksi (usia 14 – 16 tahun). Ciri-ciri baligh 1.        Mimpi basah pada anak laki-laki dan haidh pada perempuan. 2.        Tumbuhnya bulu-bulu kemaluan 3.        Berusia 15 tahun. Akil, tercapainya kedewasaan psikologis, social, finansial, serta kemampuan memikul tanggung jawab syariah. Mengarahkan fitrah seksual anak pra baligh 1.        Meminta izin ketika masuk kamar orang tua. 2.   ...